Fiqih & Ushul Fiqih

Benarkah Makan Daging Unta Dapat Membatalkan Wudhu, Simak

AYATINA – Banyak sekali masyarakat awam yang keliru dalam memahami hukum makan setelah berwudhu. Mereka menilai bahwa makan dapat membatalkan wudhu. Padahal pemikiran seperti ini adalah keliru.  

Terdapat pengecualian, jika seseorang memakan daging unta, maka batal wudhunya. Penjelasan ini sebagaimana yang termaktub dalam hadits nabi berikut ini: 

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ: أَأَتَوَضَّأُ مِنۡ لُحُومِ الۡغَنَمِ؟ قَالَ: (إنۡ شِئۡتَ فَتَوَضَّأۡ، وَإِنۡ شِئۡتَ فَلَا تَوَضَّأۡ) قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنۡ لُحُومِ الۡإِبِلِ؟ قَالَ: (نَعَمۡ، فَتَوَضَّأۡ مِنۡ لُحُومِ الۡإِبِلِ)

Artinya:“Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah saya berwudhu karena makan daging kambing?’ Beliau menjawab: ‘Jika engkau mau, berwudhulah. Dan jika tidak mau, tidak usah berwudhu.’ Orang itu bertanya, ‘Apakah saya berwudhu karena makan daging unta?’ Beliau menjawab: ‘Iya, berwudhulah karena makan daging unta’,” (HR Muslim). 

Dilihat dari status hadits tersebut, hadits ini memiliki derajat shahih karena bersumber dari kitab Shahih Muslim. Mengenai hal ini, ulama memiliki beberapa komentar atau penilaian terhadap hadits di atas.

BACA JUGA: 6 Rukun Wudhu dalam Islam, Nomor 1 Penting untuk Diperhatikan

Imam Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Syarhu an-Nawawi ‘ala Al-Muslim, halaman 48 menjelaskan:

ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻲ ﺃﻛﻞ ﻟﺤﻮﻡ اﻟﺠﺰﻭﺭ ﻭﺫﻫﺐ اﻻﻛﺜﺮﻭﻥ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ ﻻﻳﻨﻘﺾ اﻟﻮﺿﻮء ﻣﻤﻦ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ اﻟﺨﻠﻔﺎء اﻷﺭﺑﻌﺔ اﻟﺮاﺷﺪﻭﻥ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﻭﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻭاﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻭﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﺃﺑﻮ اﻟﺪﺭﺩاء ﻭﺃﺑﻮ ﻃﻠﺤﺔ ﻭﻋﺎﻣﺮ ﺑﻦ ﺭﺑﻴﻌﺔ ﻭﺃﺑﻮ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﻭﺟﻤﺎﻫﻴﺮ اﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻭﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ اﻧﺘﻘﺎﺽ اﻟﻮﺿﻮء ﺑﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭاﻫﻮﻳﻪ ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﻭﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ اﻟﻤﻨﺬﺭ ﻭﺑﻦ ﺧﺰﻳﻤﺔ ﻭاﺧﺘﺎﺭﻩ اﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ

Artinya:“Ulama berbeda pendapat perihal memakan daging unta, mayoritas ulama berpendapat bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu, ini pendapat para empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Abi bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Abu Darda’, jumhur tabi’in dan tiga imam madzhab (Maliki, Hanafi, dan Syafi’i) sedangkan imam Ahmad bin Hambal (madzhab Hambali), Ishaq bin Rahiwaih, Yahya bin Yahya didukung oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan sebaliknya.”

Imam Juwaini dalam kitab Nihayatul Al-Mathlab mengatakan: 

ﺃﻛﻞ ﻟﺤﻢ اﻟﺠﺰﻭﺭ ﻣﻤﺎ ﻭﺭﺩ اﻷﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺑﺎﻟﻮﺿﻮء، ﻭالمنصوص ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ اﻟﺠﺪﻳﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻮﺿﻮء، ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻮﺿﻮء، ﻭﻗﻴﻞ: ﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻗﺪﻳﻢ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ

Artinya:“Setelah memakan daging unta diperintahkan untuk berwudhu dan hal itu manshus (berdasarkan hadits). Bagi Imam Syafi’i dalam qoul jadid, bahwa memakan daging unta tidak mewajibkan untuk berwudhu, sedangkan madzhab Ahmad bin Hambal mengatakan, bahwa memakan daging unta mewajibkan untuk berwudhu, qila (katanya) ini termasuk qoul qadim Imam Syafi’i.”

Terdapat dalam qoul Imam Syafi’i terjadi beberapa pendapat antara qoul qadim dan qoul jadid. Qoul qadim imam Syafi’i menjelaskan, bahwa makan daging unta tidak membatalkan wudhu, sedangkan qoul qadim mengatakan sebaliknya. 

Ulama fiqh yang lain memberikan sebuah kesimpulan dalam kitab Asna Al-Mathalib karya Abi Zakariyya Al-Anshari sebagai berikut:

 لَا (أَكْلٍ مُطْلَقًا). جَمَعَ الْخَطَّابِيِّ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ أَحَادِيثَ الْأَمْرِ مَحْمُولَةٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لَا عَلَى الْوُجُوبِ

Artinya: “Wudhu tidak batal sebab makan apapun. Imam Al-Khotibi mengumpulkan antara dua hadits yang umum dan khusus, bahwasanya hadits-hadits perintah di atas diarahkan kepada kesunnahan wudhu kembali, bukan sebuah kewajiban wudhu.

Ustadz Adi Hidayat seorang pendakwah terkenal di Indonesia sempat menjelaskan dalam kajiannya di Channel YouTube @Al-Majelis tentang alasan diperintahkannya wudhu setelah makan daging unta. 

Ustadz Adi Hidayat memaparkan, banyak orang menafsirkan hadits secara tekstual saja apabila daging unta dimakan, maka akan membatalkan wudhunya, sedangkan memakan selain daging unta itu tidak batal wudhunya.

Selanjutnya Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa yang semestinya menafsirkan hadits harus secara kontekstual yaitu bukan melihat untanya, tetapi melihat pada jenis makanannya tersebut. 

Berikut detailnya, “Karena di Arab bau daging unta dianggap menyengat, tidak seperti daging kambing. Maka bila seseorang telah memakan unta, lalu hanya dibersihkan menggunakan siwak saja maka baunya belum hilang. Maka bila dipahami secara kontekstual, setiap makanan yang memiliki sifat bau yang menyengat ketika dimakan (seperti daging unta), sehingga berpengaruh pada kekhusyukan ibadah, maka diharuskan berwudhu kembali,” terang Ustadz Adi Hidayat. 

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwasannya memakan daging unta bukan menjadi faktor batalnya wudhu, melainkan bau menyengat yang timbul dari makan daging unta yang dikhawatirkan dapat mengganggu kekhusyukan dalam beribadah, sehingga disunnahkan untuk berwudhu kembali (tajdidul wudhu). 

Kesimpulan dari penjelasan ini terkait “memakan daging unta dapat membatalkan wudhu atau tidak”, ulama berbeda-beda pendapat. Namun pendapat mayoritas ulama, khususnya madzhab Syafi’i, menjelaskan bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu, dasarnya yang telah dipaparkan di atas.

Salah satu cara untuk keluar dari perbedaan pendapat tersebut yaitu: seseorang yang punya wudhu jika telah makan daging unta maka harus membasuh tangan dan berkumur-kumur serta anjuran berwudhu kembali (tajdidul wudlu). Hal ini sesuai dengan kaidah fikih oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul Al-Asybah wa An-Nadloir li As-Suyuthi yaitu: 

القاعدة الثانية عشرة الخروج من الخلاف مستحب

Artinya:“Qaidah yang kedua belas: keluar dari perbedaan pendapat adalah disunnahkan.”

Demikian penjelasan terkait status wudhunya seseorang yang telah makan daging unta. Semoga dapat dipahami, aamiin. 

Wallohu A’lam
Oleh Habiba Nabila Zahro’

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *