Benarkah Merokok Hukumnya Haram, Inilah Jawaban dari Ulama
AYATINA – Merokok adalah perkara lumrah yang masyarakat Indonesia kerjakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa merokok hukumnya haram.
Namun, apakah benar merokok itu hukumnya haram. Sebelum membahas hukumnya, mari mengenal apa dampak negatif dari merokok.
Dampak Negatif Merokok
Merokok, baik perokok aktif maupun pasif, sama-sama memberikan dampak negatif bagi tubuh. Selain kanker, efek negatif merokok adalah penyakit paru-paru kronis, merusak gigi, dan penyebab bau mulut.
Selain itu, stroke, serangan jantung, tulang mudah patah, gangguan pada mata seperti katarak, dan kerontokan rambut. Sedangkan, pada wanita menyebabkan kanker leher rahim dan keguguran janin.
Dasar Hukum Merokok
Melansir dari laman nu.or.id, rokok telah menjadi kebiasaan turun-temurun yang tidak bisa sebagian orang hindari.
Menyikapi hukum merokok kembali pada diri sendiri, karena tidak sedikit ulama yang menghalalkan, namun tidak dipungkiri ada juga yang mengharamkan. Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Selanjutnya penjelasan dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم
Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak boleh berbuat kemudharatan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudharatan (pada diri orang lain),” (HR Ibnu Majah).
Pada dasarnya, terdapat nash bersifat umum yang dapat menjadi patokan hukum, yaitu larangan melakukan segala sesuatu yang membawa kerusakan, kemudharatan, atau kemafsadatan.
BACA JUGA: Benarkah Makan Daging Unta Dapat Membatalkan Wudhu, Simak
Kontroversi Hukum Merokok
Berdasarkan kedua nash tersebut, ulama sepakat segala sesuatu yang memudharatkan hukumnya haram. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah rokok ini memudharatkan ataukah tidak, terdapat manfaat ataukah tidak.
Jika semua sepakat bahwa rokok tidak memudharatkan atau hanya sedikit saja, maka hukumnya mubah atau makruh.
Jika semua sepakat bahwa rokok membawa mudharat besar, maka hukumnya haram. Semua tergantung ke personal masing-masing, seberapa besar dampak yang ia rasakan, dari efek negatif hingga positifnya.
Dalil Terperinci
Dalil Pertama
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang Mahmud Syaltut sampaikan di dalam Al-Fatawa, halaman 383-384 dengan sepenggal teks sebagai berikut:
إن التبغ ….. فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. …. وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.
Artinya: “Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, di samping itu juga tidak membawa mudharat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudharat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”
Dalil Kedua
Demikian pula apa yang telah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy jelaskan di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh Cetakan III, Jilid 6, halaman 166-167 dengan sepotong teks, sebagai berikut:
القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما
Artinya: “Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-‘Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: ‘(Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram.’ Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan: ‘Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya’.”
Ulasan ‘Illah
Ketiga hukum tersebut sangat menarik untuk umat Islam ulas lebih cermat. Melansir dari laman nu.or.id, beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan ‘illah atau alasan hukum sebagai berikut:
Pertama: sebagian besar ulama terdahulu beranggapan bahwa mubah atau makruh apabila tidak membawa mudharat atau membawa mudharat kecil.
Kedua: berbeda dengan ulama terdahulu, sebagian ulama zaman sekarang berpendapat bahwa merokok adalah haram berdasarkan informasi dari hasil penelitian kesehatan yang detail dalam menemukan kemudharatan kecil yang terkesan menjadi lebih besar.
Apabila penelitian kurang ia cermati, maka kemudharatan merokok ia pahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya.
Selanjutnya mudharat yang terlihat besar padahal sebenarnya adalah kecil ketetapannya menjadi haram. Padahal ketentuan tersebut bisa saja hukumnya makruh.
Ketiga: hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang terjadi akibatnya, mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang mendasarinya.
Dengan demikian, pada satu sisi dapat seseorang pahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang terdapat potensi terkena mudharatnya.
Akan tetapi, merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena atau terkena mudharatnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat: kalaulah merokok itu membawa mudharat relatif kecil dengan hukum makruh. Kemudian, di balik kemudharatan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah.
Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa para perokok rasakan.
Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudharat cukup besar. Apapun yang seseorang konsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudharat cukup besar, maka haram hukumnya.
Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram, meskipun terdapat manfaat apapun bentuknya, karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.
Kesimpulan
Berdasarkan ulasan ‘illah di atas, kesimpulannya yaitu bahwa hukum merokok tergantung dari besar kecilnya kemaslahatan dan kemudharatan yang perokok rasakan. Apabila mudharatnya besar, maka hukumnya haram.
Wallohu A’lam
Oleh Indah Permatasari