Fiqih & Ushul FiqihHikmah & Wawasan

Hukum Menukar Uang Menjelang Lebaran, Inilah Caranya, Simak

AYATINA – Menukar uang menjelang hari lebaran sudah menjadi tradisi sejak lama di Indonesia. Masyarakat menyediakan uang receh untuk dibagikan kepada orang-orang, khususnya keluarganya. 

Fenomena ini menjadi polemik di masyarakat terkait kebolehan menukar uang dengan uang. Banyak orang yang masih menerapkan tradisi ini tanpa mengetahui hukum dan caranya. 

Artikel ini akan menjelaskan apa hukum dan cara penukaran uang yang benar dan tentunya dibolehkan oleh syariat Islam.  

BACA JUGA: 3 Golongan yang Diperbolehkan Tidak Puasa Ramadhan, Simak

Praktik penukaran uang ini dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, jika penukaran uang tersebut adalah membayar uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu masuk kategori riba, yang hukum pelaksanaannya adalah haram.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Buya Yahya dalam channel youtube AlBahjah TV, ia menyebutkan bahwa menukarkan uang Rp100.000,00 di pinggiran jalan kepada penukar uang yang hanya mendapatkan uang Rp90.000,00, maka perilaku ini disebut dengan riba.

Kedua, apabila praktik ini adalah membayar jasa orang yang menyediakan jasa, maka menurut syariat praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu hukumnya mubah, karena praktik ini masuk kategori ijarah.

Ijarah adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barangnya tersebut. Karena ijarah termasuk ke dalam jenis jual-beli, maka ia tidak termasuk kategori riba. 

Sebagaimana keterangan dalam kitab Fathul Mujibil Qarib karya KH. Afifuddin Muhajir berikut ini:

والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل

Artinya: “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).”

Sering terjadi perbedaan pendapat yang muncul di masyarakat. Sebagian orang fokus akadnya ini adalah uang itu sendiri yang jadi penukaran. Sebagian yang lain menganggap jasa orang yang menyediakan jasa tersebut yang menjadi akadnya.

Akan tetapi, sering terjadi barang itu sendiri yang mengikuti sebagai konsekuensi atas jasa akad jasa tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zein karya Syekh Nawawi Banten berikut ini:

وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا

Artinya: “Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shohih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang wanita yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih) terletak pada aktivitas si wanita. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan.”

Tarif yang mesti dibayarkan kepada penjual pada penukaran uang di pinggir jalan adalah jasanya tersebut, bukan pada barangnya, yaitu uang. Pembayaran tarif pada jasa tersebut seperti perihal wanita sebagai penyedia jasa menyusui, bukan jual-beli asi.

Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat At-Thalaq ayat 6 berikut ini: 

قال الله تعالى: فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ علق الأجرة بفعل الإرضاع لا باللبن

Artinya: “Allah Ta’ala berfirman: ‘apabila mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka’.”

Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan upah tersebut dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya.

Terkait tarif jasa penukaran uang memang tidak diatur ketentuan jumlahnya dalam bab fiqih. Meski tarifnya masih berbeda-beda di setiap daerah, namun tarif ini mesti harus atas dasar saling ridho antara kedua belah pihak, sebagaimana ketentuan jual-beli. 

Boleh juga untuk para pemerintah menentukan tarifnya, tentunya harga yang ramah untuk kedua belah pihak. Hal ini agar tidak lagi ada harga jasa yang melonjak dan pembeli yang menawar terlalu rendah. 

Cara dalam penukaran uang mesti diterapkan untuk menghindari kesalahanpahaman bagi masyarakat awam. Berikut ini langkah yang dapat dilakukan sebelum melakukan penukaran uang:

1. Penjual jasa menetapkan harga jasa yang hendak dijual kepada pembeli. Misal: menukar uang Rp20.000,00 – Rp100.000,00 harga jasanya adalah Rp10.000,00. Apabila menukar uang dari Rp110.000,00 – Rp200.000,00 maka harga jasanya adalah Rp20.000,00 dan seterusnya. 

2. Ketika penjual belum menetapkan harga jasanya, maka pembeli bertanya terlebih dahulu, buatlah kesepakatan terkait harga jasa menukar uang tersebut. 

3. Setelah harga jasanya sudah ada, baru kemudian pembeli mengeluarkan uang yang senilai dengan uang tukarannya dari penjual dan selanjutnya memberi uang untuk membayar jasa tersebut.

Hal ini perlu diperhatikan agar masyarakat yang awam jadi paham dan mengurangi rasa ketidakikhlasan. Karena jual-beli harus didasari atas saling ridho antara kedua belah pihak.

Demikian hukum dan ketentuan menukar uang. Semoga dapat dipahami dan kita dapat menerapkan cara yang telah ditetapkan dalam Islam, agar tidak jatuh riba.

Wallohu A’lam
Oleh Founder Ayatina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *