Orang Tua Bercerai, Simak 7 Syarat Hak Asuh Anak dalam Islam
AYATINA – Perceraian adalah putusnya ikatan hubungan suami-istri dalam perkawinan, sehingga keduanya tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam rumah tangga. Perceraian memiliki kecenderungan dampak negatif bagi anak, maka hak asuh anak menjadi prioritas yang hendaknya diperhatikan oleh orang tua.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Meskipun mengalami penurunan 10,2 % dibanding 2022, jumlah perceraian ini tetap besar dan perlu menjadi perhatian oleh pihak terkait, karena akan berdampak besar dalam persoalan hak asuh anak.
Islam memandang perceraian sebagai keputusan terakhir apabila kedua belah pihak tidak menemukan solusi terbaik atas suatu masalah. Boleh dilakukan, namun sebaiknya dihindari, karena perceraian adalah hal yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Sepadan dengan riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Artinya: “Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian,“ (HR Abu Daud).
Perceraian hendaknya menjadi solusi terbaik bagi pasangan terkait. Termasuk dalam persoalan hak asuh anak. Hal ini perlu menjadi perhatian utama, karena masa depan anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua, meski keduanya sudah tidak menjadi suami-istri lagi.
Tentang Hukum-Hukum Hak Asuh Anak
Pengertian Hadlanah
Islam menyebut hak asuh anak dengan sebutan hadlanah. Mengutip dari kitab fenomenal Fath Al-Qarib Al-Mujib karya syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, hadlanah secara bahasa berasal dari lafadz “alhadn” yang bermakna lambung.
Kata lambung mengandung arti bahwa ibu yang merawat anak kecil pasti akan selalu menempelkan anak tersebut ke lambung (perut) ibu.
Sedangkan secara syara’, hadlanah bermakna menjaga atau merawat anak yang belum bisa menjaga dirinya sendiri dari hal-hal yang bisa menyakitinya, dikarenakan belum tamyiz (bisa membedakan hal yang baik dan buruk). Seperti anak kecil dan orang dewasa yang gila.
BACA JUGA: 2 Strategi Membangun Minat Anak Berpuasa Ramadhan, Simak
Syarat-Syarat Hadlanah
Islam sangat teliti dan hati-hati dalam memerinci suatu perkara. Termasuk mengenai hak asuh anak. Persoalan hak asuh anak tidak bisa sembarangan, karena akan berdampak pada masa depan anak itu sendiri. Terutama soal agama dan kehidupannya.
Berikut ada tujuh syarat hadlanah:
1. Berakal
Hak asuh anak tidak bisa jatuh kepada orang gila, baik ayah atau ibunya. Dijelaskan dalam kitabnya Fathul Al-Qarib Al-Mujib, syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi mengatakan:
الْعَقْلُ، فَلَا حَضَانَةَ لِمَجْنُوْنٍ أَطْبَقَ جُنُوْنُهَا أَوْ تَقَطَّعَ فَإِنْ قَلَّ جُنُوْنُهَا كَيَوْمٍ فِيْ سَنَةٍ لَمْ يَبْطُلْ حَقُّ الْحَضَانَةِ بِذَلِكَ
Artinya: “Berakal, sehingga tidak ada hak asuh bagi orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus. Lalu, jika gilanya sang istri hanya sebentar seperti sehari dalam satu tahun, maka hak asuhnya tidak batal sebab penyakit tersebut.”
2. Merdeka
Maksud merdeka ialah bukan seorang budak yang ia dalam kendali majikannya. Syekh Al-Ghazi kembali menjelaskan dalam kitab Fathul Al-Qarib Al-Mujib:
الْحُرِّيَّةُ، فَلَا حَضَانَةَ لِرَقِيْقَةٍ وَإِنْ أَذِنَ لَهَا سَيِّدُهَا فِيْ الْحَضَانَةِ
Artinya: “Merdeka, sehingga tidak ada hak asuh bagi budak wanita. Meskipun majikannya memberi izin untuk mengasuhnya.”
3. Beragama Islam
Keselamatan jasmani dan rohani anak adalah tanggung jawab orang tua sampai ia mencapai usia tamyiz. Maka, syarat yang ketiga adalah beragama Islam.
Masih dalam kitab yang sama, Syekh Al-Ghazi mengatakan:
الدِّيْنُ، فَلَا حَضَانَةَ لِكَافِرَةٍ عَلَى مُسْلِمٍ
Artinya: “Agama, maka tidak ada hak asuh wanita kafir terhadap anak yang beragama Islam.”
4. ‘Iffah (Terjaga dari Perbuatan Maksiat)
Penjelasan dalam kitab yang sama, Syekh Al-Ghazi mengatakan:
(وَ) الرَّابِعُ وَالْخَامِسُ (الْعِفَّةُ وَالْأَمَانَةُ)
Artinya: “Keempat dan kelima yakni ‘iffah dan amanah.”
Lebih jelasnya, ‘iffah bermakna menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Memelihara kehormatan diri dari hal-hal yang merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya.
5. Amanah
Amanah mempunyai arti ‘dapat dipercaya’, baik perkataannya maupun perbuatannya. Tidak ada hak asuh pada orang yang apabila dalam ucapan dan perbuatannya sering ditemui ketidakjujuran. Hal ini sesuai dengan perkataan Syekh Al-Ghazi:
فَلَا حَضَانَةَ لِفَاسِقَةٍ
Artinya: “Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita fasik.”
6. Bertempat Tinggal di Daerah Anak
Bermukim atau bertempat tinggal di daerah anak adalah syarat hadlanah selanjutnya. Syekh Al-Ghazi kembali mengatakan dalam kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib, bahwasanya:
(الْإِقَامَةُ) فِيْ بَلَدِ الْمُمَيِّزِ بِأَنْ يَكُوْنَ أَبَوَاهُ مُقِيْمَيْنِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ فَلَوْ أَرَادَ أَحَدُهُمَا سَفَرَ حَاجَةٍ كَحَجٍّ وَتِجَارَةٍ طَوِيْلًا كَانَ السَّفَرُ أَوْ قَصِيْرًا كَانَ الْوَلَدُ الْمُمَيِّزُ وَغَيْرُهُ مَعَ الْمُقِيْمِ مِنَ الْأَبَوَيْنِ حَتَّى يَعُوْدَ الْمُسَافِرُ مِنْهُمَا وَلَوْ أَرَادَ أَحَدُ الْأَبَوَيْنِ سَفَرَ نُقْلَةٍ فَالْأَبُّ أَوْلَى مَنَ الْأُمِّ بِحَضَانَتِهِ فَيَنْزِعُهُ مِنْهَا.
Artinya: “Bermukim di daerah sang anak. Dengan artian kedua orang tuanya mukim di satu daerah. Sehingga, seandainya salah satu dari keduanya ingin bepergian karena ada hajat seperti haji dan berdagang, baik jarak perjalanannya jauh atau dekat, maka anak yang sudah tamyiz atau belum, diserahkan kepada orang yang muqim dari kedua orang tuanya hingga yang sedang bepergian telah kembali. Seandainya salah satu dari kedua orang tuanya ingin pindah daerah, maka sang ayah lebih berhak daripada sang ibu untuk mengasuh, sehingga sang anak diambil oleh sang ayah dari tangan sang ibu.”
7. Sepi (Sendirian)
Syarat ketujuh adalah sepi-nya ibu dari sang anak. Abu Hazim Mubarok dalam buku yang berjudul Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib mengatakan, “Ibunya si anak yang tamyiz itu tidak punya suami yang bukan mahromnya anak.”
Apabila ibunya menikah dengan seorang laki-laki dari mahromnya si anak, baik paman si anak, atau anak laki-lakinya paman, atau anak laki-lakinya saudara si anak, dan masing-masing dari mereka telah rela dengan keberadaan anak yang tamyiz itu, maka tidak menjadi gugur hak pengasuhan ibu disebabkan oleh hal (pernikahan) ini.
Begitupun sebaliknya, apabila sang ibu menikah dengan yang bukan dari mahromnya anak, maka hak asuh oleh ibu menjadi gugur.
Kesimpulan
Bila ditelaah lebih dalam, maka hukum-hukum yang telah ditetapkan Islam mengenai hak asuh ini menitikberatkan pada masa depan anak.
Perlu diketahui, perceraian adalah suatu keniscayaan. Maka alangkah lebih baik bila persoalan hak asuh anak bagi setiap muslim diperhatikan dengan baik, agar mendapatkan keridhoan dari Allah SWT, aamiin.
Wallohu A’lam
Oleh Khoiriyatun Nisa’