Hikmah & Wawasan

Sejarah 1 Suro dan 1 Muharram, Serupa tetapi Tidak Sama

AYATINA – 1 Suro merupakan tanggal awal pada tahun baru Jawa. Pada tanggal 1 Suro ini juga bertepatan pada 1 Muharram, yang merupakan awal tahun baru Hijriyah. Maka, secara umum tidak ada perbedaan signifikan dari kedua arti tersebut.

Namun, jika dianalisa lebih dalam, terdapat perbedaan di antara 1 Suro dan 1 Muharram, khususnya dari segi sejarahnya. Untuk lebih jelasnya, simak artikel ini sampai tuntas.

BACA JUGA: Syawal Bukan Bulan Sial untuk Menikah, Justru Sangat Dianjurkan

Melansir dari detik.com, istilah Suro berasal dari bahasa Arab, asyura, yang berarti sepuluh. Mengikuti dialek Jawa, istilah ini kemudian masyarakat membacanya menjadi kata Suro dan di beberapa daerah lainnya terkenal dengan sebutan Suran.

Mengutip dari buku karya Prof. Dr. Suprapto yang berjudul Dialektika Islam dan Budaya Nusantara: dari Negosiasi, Adaptasi Hingga Komodifikasi, menjelaskan bahwa sejarah malam 1 Suro berkaitan dengan sejarah Sultan Agung sebagai raja Mataram.

Pada abad ke-17, Sultan Agung hendak menyatukan kaum santri dan abangan. Strategi yang dia gunakan yakni dengan memadukan penanggalan Jawa dengan Hijriyah. Penanggalan Jawa ini awalnya berdasarkan pada tahun Saka, yang berasal dari warisan tahun Hindu.

Menurut Clifford Geertz, seorang sarjana antropologi dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kaum santri dan abangan.

Kaum santri adalah sekelompok masyarakat yang memegang teguh agama Islam dan mengamalkannya dengan penuh ketaatan terhadap ajaran Islam. Mereka biasanya adalah orang-orang yang menimba ilmu di pesantren.

Sedangkan kaum abangan adalah sekelompok masyarakat yang sekedar menganut agama Islam tanpa menjalankan kewajiban agama, seperti sholat, puasa, dan lainnya.

Meskipun mereka beragama Islam, akan tetapi kesehariannya lebih memilih mempraktekkan amalan-amalan yang sudah lebih dulu eksis dan telah membudaya di kalangan masyarakat.

Dengan memadukan penanggalan Jawa dan Hijriyah, menjadi solusi penyatuan kedua belah pihak. Hal ini menghasilkan sebuah akulturasi kreatif yang berdampak positif pada penyebaran Islam di tanah Jawa. Maka, penanggalan Jawa 1 Suro tidak jarang bersamaan dengan 1 Muharram.

Melansir dari nu.or.id, Muharam berasal dari kata yang diharamkan. Maksudnya adalah larangan untuk melakukan peperangan atau pertumpahan darah. Pemutusan bulan Muharram menjadi bulan pertama tahun Hijriyah terjadi pada tahun 638 Masehi, tepatnya 17 tahun pasca hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semasa Rasulullah SAW hidup, bulan Muharram bukan bulan awal dalam penanggalan Hijriyah. Hal ini karena penanggalan Hijriyah baru diatur pada masa khalifah Umar bin Khattab.

Awal mula penanggalan Hijriyah adalah ketika Umar bin Khattab menerima surat dari Gubernur Abu Musa Al-Asyari. Dalam surat ini, Abu Musa Al-Asyari berpendapat tentang kebingungannya mengenai surat umat Islam yang tidak memiliki tahun. Tidak adanya tahun, mempersulit pengarsipan dokumen.

Khalifah Umar kemudian menunjuk beberapa sahabat untuk menyusun kalender Islam. Mereka terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Waqqas, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Beberapa sahabat menyampaikan usulan. Ada yang mengusulkan agar kelahiran Rasulullah SAW sebagai bulan pertama. Ada juga yang mengusulkan waktu wafatnya rasul dan nuzulul qur’an

Pada akhirnya, usulan yang diterima adalah usulan Ali bin Abi Thalib, yakni pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Alasan pemilihan tersebut karena hijrah ini menjadi tonggak penyebaran agama Islam yang meluas, serta banyak peristiwa penting yang membawa kemuliaan di bulan ini.

Sebagaimana penjelasan dalam hadits nabi berikut:

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati: tiga bulan berturut-turut; Dzulkaidah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumadil Akhir dan Sya’ban,” (HR Bukhari dan Muslim).

Bulan Muharram menjadi bulan munculnya wacana hijrah setelah beberapa sahabat membaiat Rasulullah SAW. Pembaiatan ini dilaksanakan pada penghujung Dzulhijjah. Bulan Muharam merupakan bulan setelah Dzulhijjah.

Semua sahabat menyepakati bulan Muharam sebagai bulan pertama penanggalan kalender Hijriyah. Kalender Hijriyah ini diresmikan pada periode 17 tahun setelah hijrah Rasulullah SAW, atau tahun setelah wafatnya.

Demikian sejarah satu Suro dan satu Muharram. Perbedaan yang ada menjadi keragaman yang indah, tanpa perlu menjadi perselisihan. Dengan mengetahui sejarah ini semoga menambah wawasan kita bersama, aamiin.

Wallohu A’lam
Oleh Sabingatun Dewi Masitoh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *